Kamis, Oktober 01, 2009

Orang Tua Yang Menghalangi Pernikahan

Pertanyaan: 

Saya ingin berkonsultasi, saya ini ingin sekali mengerjakan perintah Allah SWT untuk melakukan penikahan, namun saya masih menemui kendala dari orang tua calon saya. Mereka mengharapkan anaknya mendapatkan pendamping yang setara dengan keluarganya. Mereka mencari bukan dari segi agama melainkan dari segi materi dunia, sedangkan calon istri saya juga berkeinginan menyegerakan pernikahan tetapi orang tua bersikeras dan keras kepala sehingga tidak mau merestui, bahkan mereka pernah berbicara bila kami berdua tetap melangsungkan pernikahan maka anaknya tidak akan diakui dan dijauhkan dari keluarga (tidak dianggap sama sekali).

Calon saya juga pernah meminta dengan ayahnya dan ibunya namun mereka tetap menolaknya. Calon saya takut dianggap durhaka kepada ibunya bahkan calon saya menjaga agar jangan sampai ibunya sakit-sakitan. 

Pertanyaan saya, bagaimana saya harus bersikap sedang saya ingin segera menikah tetapi calon saya takut dikatakan anak durhaka. Apakah ini merupakan sikap durhaka terhadap kedua orang tua bila tetap melakukan pernikahan? Lalu adakah cara meluluhkan hati orang tua yang keras kepala, karena dalam hadis mengatakan bila datang seorang pria muslim hendak melamar putrimu segerakanlah, bila tidak maka akan terjadi fitnah.

Salam dari Ahmad Nurfuad di Gorontalo


Jawabannya: 

Mempercepat pernikahan manakala tidak ada hal-hal yang prinsip adalah sangat dianjurkan dalam agama dikarenakan hal itu akan mencegah seseorang dari hal-hal yang dapat membawa dirinya kepada perzinaan. Sabda Rasulullah SAW; ”Wahai para pemuda barangsiapa di antara kalian yang telah memiliki kesanggupan (untuk menikah) maka menikahlah dan barangsiapa yang belum memiliki kesanggupan maka berpuasalah. Sesungguhnya (puasa itu) adalah perisai baginya” (HR. Bukhari dan Muslim - Shahih). Tentunya keinginan Anda untuk segera menikah menandakan bahwa Anda telah memiliki kesanggupan baik kesanggupan dalam memberikan haknya dan kewajibannya secara lahir maupun batin baginya.

Makna Sederajat (Kufu’)

Di antara hal yang diperhatikan oleh para ulama di dalam pernikahan adalah adanya kesetaraan (kufu’) antara laki-laki dan wanita yang ingin menikah. Kesetaraan ini bisa menjadi faktor kebahagiaan hidup dikarenakan adanya ketenangan dan kepercayaan di antara pasangan suami isteri.

Segolongan ulama berpendapat bahwa persoalan kufu’ perlu diperhatikan, tetapi yang menjadi ukuran kufu’ ialah sikap hidup yang lurus dan sopan bukan dengan ukuran keturunan, pekerjaan, kekayaan, suku/ras, asal negara, dan sebagainya. Jadi seorang laki-laki yang shaleh walaupun keturunannya rendah berhak kawin dengan wanita yang berderajat tinggi. Laki-laki yang mempunyai kebesaran apapun berhak kawin dengan wanita yang mempunyai kebesaran dan kemasyhuran. Laki-laki fakir berhak kawin dengan yang kaya raya dengan syarat pihak lelakinya adalah seorang muslim yang menjauhkan dirinya dari meminta-minta dan tidak seorang pun walinya yang menghalangi atau menuntut pembatalan. (Fiqhus Sunnah Juz III hal. 30)

Di dalam buku ini juga disebutkan diantara hal-hal yang menjadi ukuran kufu’ adalah kekayaan. Golongan Syafi’i berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian ada yang menjadikannya sebagai ukuran kufu’, jadi orang fakir menurut mereka tidak se-kufu’ dengan perempuan kaya, sebagaimana riwayat Samarah bahwa Rasulullah SAW bersabda; ”Kebangsawanan adalah pada kekayaan dan kemuliaan pada taqwa”. Mereka berkata juga bahwa kemampuan laki-laki fakir dalam membelanjai isterinya berada di bawah ukuran laki-laki kaya. Sebagian lain berpendapat bahwa kekayaan itu tidak dapat menjadi ukuran kufu’ karena kekayaan itu sifatnya pasang surut dan perempuan yang salehah tidaklah mementingkan kekayaan, kedudukan, ketampanan, dan keturunan.

Golongan Hanafi menganggap bahwa kekayaan menjadi ukuran kufu’. Ukuran kekayaan di sini adalah memiliki harta untuk membayar mahar dan nafkah. Orang yang tidak memiliki harta untuk membayar mahar dan nafkah atau salah satu di antaranya, ia dianggap tidak se-kufu’. Abu yusuf menilai kufu’ itu dari kesanggupan memberi nafkah, bukan mahar, karena dalam urusan mahar, biasanya orang sering mengada-ada. Tentang harta menjadi ukuran kufu’ juga menjadi ukuran Ahmad atau pendapat Ahmad. (Fiqhus Sunnah Juz III hal. 36)

Dari pendapat para ulama diatas tampak bahwa kekayaan (memiliki harta) adalah menjadi ukuran se-kufu’ atau tidaknya seorang laki-laki yang ingin menikahi seorang wanita. Namun demikian tampak perbedaan di antara mereka terkait dengan ukuran kepemilikan harta (kekayaan) tersebut. Sedangkan ukuran kekayaan atau kemapanan seseorang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Begitu juga dengan ukuran nilai suatu mahar atau pemberian nafkah setelah pernikahan. Ada sebagian wanita yang merasa tidak cukup dengan nominal tertentu setiap bulannya namun sebagian lainnya merasa bahwa itu sudah cukup. Hal ini terkadang kembali kepada kepAndaian dalam mengatur keuangan rumah tangganya atau bisa juga dikarenakan gaya hidup keduanya.

Se-kufu’ tidaknya seorang laki-laki dengan wanita yang akan dinikahinya diukur ketika akad nikah akan dilangsungkan. Hal itu dikarenakan kekayaan yang dimiliki seseorang memungkinkan terjadinya pasang surut paska pernikahan, sebagaimana perkataan sebagian ulama madzhab Syafi’i. Bisa jadi seorang yang kaya raya pada saat menikah jatuh miskin setelah mereka membina rumah tangga atau sebaliknya seorang yang tidak mempunyai banyak harta pada saat menikah menjadi hartawan setelah mereka membina rumah tangga. Wallahu Ta’ala A’lam.

Untuk itu banyaknya harta atau kekayaan tidaklah menjadi ukuran kufu’ sebagaimana firman Allah SWT; ”Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui” (QS. An Nuur: 32).

Ibnu Katsir menyebutkan bahwa ayat ini adalah perintah untuk menikah. Sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu adalah wajib bagi setiap orang yang memiliki kesanggupan. Mereka mendasarkannya kepada sabda Rasulullah SAW; ”Wahai para pemuda baranagsiapa di antara kalian yang telah memiliki kesanggupan (untuk menikah) maka menikahlah. Sesungguhnya hal itu menjaga pandangan, memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang belum memiliki kesanggupan maka berpuasalah. Sesungguhnya (puasa) itu adalah perisai baginya (HR. Bukhari dan Muslim).

Adapun firman Allah SWT; “Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya”, maka Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas menyatakan bahwa “Allah swt mencintai mereka (para wali) yang menikahkan (anak-anaknya) dan memerintahkan orang-orang yang merdeka juga para budak serta menjanjikan kepada mereka kekayaan dengan firman-Nya, jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya”.

Ibnu Katsir juga menambahkan, dari Ibnu Mas’ud RA; “Memohonlah kalian (kepada Allah) akan kekayaan melalui menikah”, diriwayatkan oleh Ibnnu Jarir. Al Baghawi juga menyebutkannya dari Umar yang semisal dengannya. Rasulullah SAW pernah menikahkan seorang lelaki yang tidak mempunyai apa-apa selain kain sarung dan ia tidak memiliki apa-apa walaupun hanya sebatas cincin besi, namun demikian Rasulullah SAW tetap menikahkannya dengan seorang wanita dan menjadikan maharnya adalah mengajarkannya alqur’an yang telah dihafalnya” (Tafsir Ibnu Katsir Juz VI hal. 51 – 52).

Juga hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda; “Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, karena kehormatannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah (wanita) yang memiliki agama (yang baik) maka engkau tidak akan menyesal” (HR. Bukhari dan Muslim). Imam Bukhari meletakkan hadis ini di bawah Bab Se-kufu’ Dalam Hal Agama, ini menunjukkan bahwa yang pertama sekali diperhatikan dalam kufu’ bukanlah harta, kehormatan ataupun kecantikan tapi AGAMANYA.

Wali Menghalangi Pernikahan (Orang Tua Menghalangi Pernikahan)


Pada dasarnya para ulama sependapat bahwa wali tidak berhak dan tidak boleh menghalang-halangi perempuan yang diwalikannya dan menzaliminya supaya tidak kawin, padahal dia ingin kawin dengan laki-laki se-kufu’ dan mahar mitsl. Jika wali menghalangi pernikahan tersebut, calon pengantin wanita berhak mengadukan perkaranya kepada pengadilan agar perkawinan tersebut dapat dilangsungkan. Dalam keadaan seperti ini, perwalian tidak pindah dari wali yang zalim kepada wali yang lainnya, tetapi langsung ditangani oleh hakim sendiri sebab menghalangi hal tersebut adalah suatu perbuatan yang zalim, sedangkan mengadukan wali zalim itu hanya kepada HAKIM.

Ma’qil bin Yasar berkata; “Aku mempunyai saudara perempuan. Selanjutnya datang kepadaku seorang laki-laki pamanku untuk meminangnya. Aku pun menikahkan saudara perempuanku itu dengannya. Tetapi belakangan, ia menceraikannya dengan talak raj’i kemudian ia berdiam diri hingga masa iddahnya. Tatkala datang laki-laki itu (yang menceraikannya) dan meminangnya kembali”, aku menjawab; ”Tidak demi Allah, aku tak akan mengawinkan dia denganmu selama-lamanya”. Maka turunlah ayat; ”Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya” (QS. AL Baqarah: 232). “Selanjutnya aku membayar kafarat akan sumpahku lalu aku kawinkan saudara perempuanku itu dengannya” (Fiqhus Sunnah Juz III hal. 23)

Jika walinya adalah ayah mujbir - yang berhak menikahkan orang yang diwalikannya tanpa meminta pendapatnya terlebih dahulu - tidak mau menikahkan anak perempuannya yang mujbaroh maka si ayah tidaklah dianggap menghalang-halangi kecuali jika hal itu membawa bahaya kepada si wanita atau membawa madharat baginya seperti ia tidak diperkenankan menikah agar tetap selamanya membantunya di rumah atau dieksploitasi untuk terus menaikkan karir kepegawaiannya dan khawatir karirnya akan terputus jika dia menikah (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu Juz IX hal 6722).

Jadi tidak cukup alasan bagi ayah dari calon pasangan Anda untuk menghalanginya menikah dengan Anda jika memang Anda sudah dianggap se-kufu’ dan dia pun sudah ridha dengan Anda.

Beberapa Kiat-kiat untuk Anda

Namun demikian Anda harus bijak dalam menyikapi kondisi yang ada di keluarga si wanita, meskipun sampai saat ini orang tuanya belum menyetujui Anda untuk melamarnya tetaplah sebisa mungkin untuk bisa mendapatkan restu dari mereka.

Sebetulnya ada kesamaan tujuan antara Anda dengan orang tua si wanita yaitu sama-sama ingin membahagiakannya namun berbeda sudut pandangnya. Kalau Anda melihat dari sudut pandang sudah sama-sama ridho dan percaya yang insya Allah akan menjadi bekal Anda berdua meraih kebahagiaan paska pernikahan nanti. Adapun orang tua si wanita melihat dari sudut pandang harta kekayaan, sebagaimana umumnya sikap orang tua terhadap anaknya. 

Berangkat dari kesamaan tujuan tersebut meski berbeda sudut pandang maka Anda bisa melakukan langkah-langkah berikut:

1. Memberikan penyadaran kepada kedua orang tuanya tentang arti kebahagiaan

Anak wanitanya haruslah berupaya untuk memberikan penyadaran kepada mereka bahwa kebahagiaan tidaklah hanya sebatas dinilai dari banyaknya harta tetapi kebahagiaan adalah kenyamanan dan ketentraman hati seseorang dalam membinan rumah tangga. Tidak sedikit orang yang kaya namun ia tidak bisa menikmati kekayaannya itu dikarenakan tidak ada ketentraman di dalam rumah tangganya.

2. Meminta bantuan saudara dari orang tua yang menjadi kepercayaannya atau bisa mempengaruhinya

Jika upaya yang pertama kurang menampakkan hasil, mungkin si wanita bisa meminta bantuan dari saudara kedua orang tuanya, apakah itu paman, bibi, kakek atau yang lainnya karena terkadang ada orang tua yang masih kurang bisa menerima nasehat atau arahan dari anak-anaknya. Hal ini mungkin saja dilakukan seperti kebiasaan di suatu daerah tertentu, jadi atau tidaknya seorang anak perempuan menikah diputuskan oleh pamannya.

3. Meminta bantuan seorang alim

Kalau perlu Anda atau si wanita bisa juga meminta bantuan seorang alim (yang mengetahui tentang agama) untuk memberikan sentuhan-sentuhan dari aspek agama (syariat) baik tentang penghalang-halangan mereka terhadap anak wanitanya, orientasi menikahkan anak wanitanya, sudut pandang kebahagiaan atau yang lainnya. Mudah-mudahan sentuhan-sentuhan ayat dan hadis dari beliau bisa melunakkan sikap mereka.

4. Cobalah Anda datang untuk silaturahmi

Anda bisa menjajaki hasil perkembangan dari usaha-usaha di atas dengan meminta Anda untuk datang silaturahmi ke rumah mereka sebagai perkenalan antara dua keluarga. Dan jika hasil dari kunjungan ini menampakkan hasil yang positif maka Anda bisa teruskan ke tahap yang berikutnya untuk melakukan pelamaran.

5. Solat istikharah sambil berdoa kepada Allah SWT

Hal yang tidak boleh Anda lupakan dalam menghadapi berbagai pilihan di dalam masalah ini adalah solat istikharah meminta petunjuk dari Allah SWT. Solat istikharah yang merupakan upaya vertikal ini juga harus dibarengi dengan upaya horizontal dengan meminta pendapat dari orang-orang yang Anda anggap bisa membantu mencarikan solusi yang terbaik terutama dari mereka yang pernah mengalami peristiwa seperti ini atau bermusyawarah dengan anggota keluarga Anda, sehingga Anda mendapatkan ketetapan hati terhadap suatu keputusan. Ada satu ungkapan Umar bin Khattab RA; ”Tidak rugi orang yang beristikharah dan tidak menyesal orang yang bermusyawarah”.

6. Tawakal atas segala keputusan yang datang
dari Allah SWT

Setelah berbagai upaya yang telah Anda dan si wanita lakukan baik melalui pendekatan personal, meminta pendapat dan musyawarah serta terus meminta petunjuk dari Allah SWT melalui solat istikharah dan berdoa maka tidak ada yang terbaik setelah itu semua kecuali menyerahkan segalanya kepada Allah swt. Bertawakal kepada-Nya karena ditangan-Nyalah segala kebaikan. Sebagaimana perkataan Umar di atas, insya Allah keputusan apa pun yang diambil setelah itu semua adalah kebaikan buat semuanya.

Itulah sebagai sebuah upaya yang mudah-mudahan bisa membantu meluluhkan sikap orang tuanya karena kita sebagai manusia hanya diminta untuk berikhtiyar mencari yang terbaik sedangkan bagaimana hasilnya hanya Allahlah yang mengetahuinya, firman-Nya; ”Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepadaNyalah aku kembali” (QS. Huud: 88). Wallahu Ta’ala A’lam. (Jubron Fahirro)

0 komentar:

Posting Komentar | Feed

Posting Komentar



 

Muhith Jepara Batam Copyright © 2009 Jepara Bumi Kartini - Batam Bumi Industri by Muhitho Kibitho 08192224377